Oleh : Aldi Ismail Fahmi
Pendahuluan
Pendidikan adalah fondasi peradaban. Kualitas generasi mendatang sangat bergantung pada bagaimana sistem pendidikan dikelola. Di Indonesia, pendidikan tidak hanya menjadi urusan pemerintah semata, tetapi juga melibatkan banyak pihak, termasuk organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang membangun sekolah, madrasah, dan pondok pesantren.
Beberapa waktu lalu, kebijakan Dedi Mulyadi, dalam konteks ini diasumsikan sebagai Gubernur Jawa Barat, menambah daya tampung siswa per kelas dari 38 menjadi 50 orang, memicu diskursus publik. Sekilas, kebijakan ini terlihat solutif untuk mengatasi masalah keterbatasan akses pendidikan di Jawa Barat, provinsi dengan penduduk terbesar di Indonesia, sekitar 49,9 juta jiwa (BPS Jawa Barat, 2023).
Namun, di balik angka-angka tersebut, kebijakan ini memunculkan pertanyaan mendasar: benarkah sekadar menambah kuota dapat meningkatkan kualitas pendidikan? Apakah penambahan daya tampung ini justru mengancam eksistensi lembaga pendidikan swasta berbasis keagamaan, seperti madrasah dan pondok pesantren milik Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya?
Tulisan ini akan mengupas plus minus kebijakan ini, membandingkannya dengan praktik pendidikan di Finlandia, serta menunjukkan bagaimana kebijakan tersebut berpotensi menjadi ancaman serius bagi madrasah dan pesantren swasta.
Potret Pendidikan di Jawa Barat
Jawa Barat memiliki lebih dari 32.000 satuan pendidikan, dari PAUD hingga SMA/MA (Dinas Pendidikan Jawa Barat, 2022). Di antara angka tersebut, ribuan adalah madrasah dan pondok pesantren swasta. Menurut data Kementerian Agama (2023), terdapat lebih dari 10.000 madrasah di Jawa Barat yang sebagian besar dikelola NU dan Muhammadiyah.
Sementara itu, pondok pesantren berjumlah lebih dari 9.000 unit dengan total santri lebih dari 1,5 juta orang. Pesantren dan madrasah ini telah lama menjadi penopang pendidikan masyarakat, khususnya di pedesaan. Mereka tidak hanya mendidik siswa dengan ilmu umum, tetapi juga dengan pendidikan agama dan akhlak.
Rationale di Balik Kebijakan Penambahan Kuota
Dalam perspektif pemerintah, kebijakan menambah kuota siswa per kelas memiliki beberapa alasan logis:
1. Meningkatkan akses: Tingkat partisipasi kasar (APK) SMA di Jawa Barat pada 2022 hanya 74,6% (BPS Jabar, 2022). Artinya, 1 dari 4 anak usia SMA tidak bersekolah.
2. Efisiensi anggaran: Membangun sekolah baru atau membuka rombel tambahan membutuhkan biaya besar. Menambah siswa per kelas dinilai solusi cepat.
3. Mencegah putus sekolah: Dengan lebih banyak bangku tersedia, diharapkan anak-anak dari keluarga kurang mampu tetap bisa bersekolah di sekolah negeri dengan biaya minimal.
Plus Minus Kebijakan Menambah Kuota
Keuntungan
Akses pendidikan lebih luas: Anak-anak dari keluarga miskin lebih mungkin diterima.
Biaya lebih murah bagi masyarakat: Sekolah negeri tidak membebani orang tua dengan biaya tambahan signifikan.
Tekanan pendaftaran menurun: Penerimaan siswa baru yang selalu membludak dapat terurai.
Kerugian
Menurunnya kualitas pembelajaran: UNESCO (2019) menekankan bahwa rasio siswa-guru yang ideal di kelas umum adalah 20–30 siswa per kelas. Di atas itu, interaksi guru-murid menurun drastis.
Beban guru makin berat: Menurut PGRI, rasio ideal adalah 1 guru mengajar maksimal 25–30 siswa agar dapat melakukan penilaian individual.
Ruang kelas tidak memadai: Banyak sekolah negeri di Jabar belum memiliki ruang kelas besar dengan sirkulasi udara baik. Overcrowding meningkatkan risiko penularan penyakit.
Ancaman bagi sekolah swasta: Sekolah swasta, madrasah, dan pondok pesantren yang biaya operasionalnya bergantung pada SPP akan kehilangan murid.
Dampak Kebijakan bagi Madrasah dan Pondok Pesantren Swasta.
Kebijakan ini berpotensi menggoyang stabilitas madrasah dan pesantren swasta, karena beberapa alasan:
1. Harga vs Nilai Banyak keluarga menengah ke bawah memilih sekolah negeri karena gratis. Jika daya tampung sekolah negeri bertambah, insentif untuk memilih madrasah atau pesantren swasta yang berbayar akan turun, kecuali lembaga tersebut punya nilai lebih yang benar-benar dibutuhkan orang tua.
2. Ketergantungan pada SPP Sebagian besar madrasah swasta di bawah NU dan Muhammadiyah bergantung 70–90% pada biaya siswa. Data Forum Komunikasi Madrasah Swasta Jawa Barat (2023) menunjukkan rata-rata madrasah hanya menerima BOS Madrasah Rp 900.000–1,2 juta per siswa per tahun — jauh dari mencukupi kebutuhan operasional.
3. Ancaman Tutup Dengan murid pindah ke sekolah negeri, cash flow terganggu. Guru honor terancam tidak dibayar, fasilitas terbengkalai, bahkan bisa memicu gelombang PHK guru madrasah.
4. Melemahkan Fungsi Sosial Pesantren Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan formal. Ia adalah benteng moral, pusat kaderisasi ulama, dan ruang peradaban Islam di akar rumput. Jika makin banyak tutup, potensi tergerusnya pendidikan karakter akan makin besar.
Studi Banding dengan Finlandia
Finlandia — selalu bertengger di ranking teratas PISA (Programme for International Student Assessment) — mengelola pendidikan dengan prinsip kualitas lebih diutamakan dibanding kuantitas.
Menurut laporan OECD (Education at a Glance, 2023), rata-rata siswa per kelas di sekolah dasar Finlandia hanya 20–25 orang, salah satu yang terendah di Eropa.
Finlandia percaya:
Rasio siswa-guru harus kecil agar guru dapat memahami keunikan setiap murid.
Tidak ada ujian berlebihan, melainkan penilaian formatif untuk mendukung perkembangan individu.
Guru diberikan kepercayaan penuh, dengan pelatihan profesional yang memadai.
Efeknya:
Tingkat stres siswa rendah.
Kesenjangan capaian antar siswa minimal.
Kepuasan guru tinggi.
Bandingkan dengan kebijakan menambah kapasitas hingga 50 siswa per kelas: secara pedagogis, hal ini bertolak belakang dengan prinsip pendidikan Finlandia.
Strategi Pemerintah yang Seharusnya
Sebagai alternatif, pemerintah daerah dapat:
1. Menambah bangunan sekolah baru di zona padat penduduk.
2. Mendukung madrasah dan pesantren swasta dengan dana hibah, insentif guru honorer, atau beasiswa.
3. Kemitraan publik-swasta: Menjadikan madrasah mitra penyedia layanan pendidikan sehingga kuota bisa terbagi merata.
4. Meningkatkan kualitas manajemen kelas: Pelatihan guru mengelola kelas besar tetap perlu, tetapi sebaiknya diimbangi dengan menjaga rasio siswa-guru ideal.
Kesimpulan
Kebijakan menambah kuota siswa per kelas dari 38 menjadi 50 yang diusung Dedi Mulyadi ini memang membuka pintu akses lebih besar bagi masyarakat miskin. Namun, kebijakan ini mengorbankan kualitas pembelajaran dan mengancam keberlangsungan madrasah serta pondok pesantren swasta yang menjadi pilar pendidikan keagamaan di Jawa Barat.
Dengan perbandingan praktik pendidikan di Finlandia, jelas bahwa kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh rasio ideal siswa-guru dan ukuran kelas yang manusiawi. Menjejalkan 50 anak dalam satu ruangan tidak hanya memperberat tugas guru, tetapi juga membuat anak-anak berpotensi kehilangan sentuhan personal.
Madrasah dan pondok pesantren swasta milik Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya sudah membuktikan diri berperan besar membentuk moral dan akhlak generasi bangsa. Jika kebijakan ini diadopsi tanpa kebijakan pendukung yang adil, maka eksistensi lembaga-lembaga tersebut terancam punah perlahan.
Dengan demikian, kebijakan penambahan kapasitas kelas Pak Dedi Mulyadi ini harus ditinjau ulang, dengan mendengar aspirasi pesantren, tokoh masyarakat, serta mempertimbangkan praktik terbaik di negara-negara dengan sistem pendidikan maju. Akses dan kualitas harus berjalan seimbang — bukan sekadar mengejar angka tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang pada ekosistem pendidikan bangsa.
—
Daftar Pustaka
1. Badan Pusat Statistik Jawa Barat. (2022). Jawa Barat dalam Angka.
2. Kementerian Agama Republik Indonesia. (2023). Data EMIS Madrasah dan Pondok Pesantren.
3. OECD. (2023). Education at a Glance. OECD Publishing.
4. UNESCO Institute for Statistics. (2019). UIS Fact Sheet No. 54: The World Needs Almost 69 Million New Teachers to Reach the 2030 Education Goals.
5. PGRI Jawa Barat. (2023). Rekomendasi Rasio Ideal Siswa-Guru di Indonesia.
6. Forum Komunikasi Madrasah Swasta Jawa Barat. (2023). Laporan Tahunan.
7. Sahlberg, Pasi. (2011). Finnish Lessons: What Can the World Learn from Educational Change in Finland? Teachers College Press.
8. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (2022). Data Sekolah Negeri dan Swasta.