Pemilu hampir usai, banyak sekali fenomena fenomena menarik dalam kontestasi tahun 2024 ini. Namun ada satu fenomena yang akan aku bicarakan dalam kesempatan ini.
Saya akan awali cuitan kali ini dengan kalimat yang akhir akhir ini banyak yg meneruskan, “ banyak guru besar dan civitas perguruan tinggi telah bersuara, jika guru besar saja masih tidak didengar, mau dibawa kemana masa depan republik ini”?
Setidaknya ada 30 perguruan tinggi ternama seluruh indonesia yang mengkritisi jalanya demokrasi di negeri pada pemilu 2024. Ada beberapa hal yang dijadikan point kritik terhadap kondisi demokrasi dewasa ini mulai dari politik kekerabatan, netralitas, penyalah gunaan kekuasaan dan lain sebagainya.
Saya sedikit mencoba menelisik kiranya point tersebut diarahkan kepada siapa. Dan sama-sama bisa kita ketahui narasi tersebut ditujukan memang untuk mengkritisi pola politis paslon 02. Bahkan banyak kampus yang terang terangan mengkritik kepada presiden jokowidodo yang mana anaknya gibran menjadi wapres 02.
Namun nyatanya, semenjak fenomena tersebut hadir masyarakat nampaknya sedikit sekali yang menghiraukan. Sehingga sampai banyak kalimat berseliweran demokrasi mati masyarakat tak mau dengar perguruan tinggi. Seakan akan diasumsikan “masyarakat tidak pintar dan bodoh karena tidak mempercayai perguruan tinggi”
Jadi pertanyaanya ini Rendahnya pengaruh perguruan tinggi, hilangnya marwah kepakaran guru besar atau memang karena bodohnya masyarakat ?
Saya jadi keingat statement bung rocky, dosen perlu di kritik rektor perlu di kritik bahkan beliau mengajukan hari anti rektor. Artinya sebagai insan pembelajar juga kita tak sepenuhnya harus patronase kepada dosen, rektor bahkan guru guru besar karena mereka pun adalah sebagai objek kritik kita juga. Terlebih berbicara mengenai institusi perguruan tinggi.
Banyak kritik terhadap perguruan tinggi dan civitasnya yg mungkin itu menjadi hilangnya marwah institusi dari masyarakat. Yang pada akhirnya Masyarakat hari ini tidak lagi melihat gelar akademik dan tidak lagi melihat institusi perguruan tinggi.
Diantaranya, Saat ini dunia pendidikan nasional dihadapkan pada fenomena yang disebut oleh Musa Asyarie dengan “pendidikan sekolah anti realias.” Apa yang dimaksud dengan pendidikan anti realitas adalah pendidikan yang tidak berbasis pada kebutuhan dan realitas kehidupan masyarakat luas Misanya, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris tapi mahasiswanya tidak dikenalkan dengan pentingnya bertani.
Kemudian Reafirmasi Ketidaknetralan Pendidikan, Instiusi pendidikan tinggi merupakan bagian dari institus-institusi sosial lain yang dapat berperan sebagai pendukung hegemoni atau counter hegemoni seperti kata Gramscy, maka pendidikan menjadi instrumen yang politis, bukan a politis. Pendidikan menjadi media yang tidak netral, seperti yang dikatakan Paulo Freire pendidikan sesungguhnya sarat dengan muata-muatan dan implikasi-implikasi polits. Joe Kincheloe, salah satu pendukung mazhab pendidikan kritis, mengatakan Semua aspek dan dimensi dalam pendidikan merupakan ruang-ruang kontestasi.
Selanjutnya pendidikan tinggi selalu berkutat dalam Pusaran Pragmatisme
Saat ini tengah terjadi pertarungan kepentingan antar ideologi dalam pendidikan tinggi yang berbasiskan pada nila-nilai akademik (academic values) dan yang berbasiskan pada nilai-nilai korporasi (corporate values). Nilai akademik adalah nilai eti-utopis, sedangkan nilai korporasi adalah nilai praktis-pragmatis. Tarik menarik kepentingan ideologi dalam pendidikan sesungguhnya merupakan tarik menarik kepentingan antara idealisme dan pragmatisme.”Kehidupan publik seperti apa yang hendak dibentuk oleh dunia pendidikan?”
Dan yang terakhir hari ini pendidikan tinggi sudah sangat terliberalisasi pendidikan tidak lain hanya menjadi barang komoditas. sifatnya hanya pemonopoli legitimasi sesuai dengan teori descholing societi nya ivan illich. Masyarakat tak lagi menghiraukan gelar karena sudah tahu tak ada artinya lagi.
Maka jika kondisinya seperti itu masihkah mau menarasikan bahwa masyarakat kita itu bodoh ? Atau justru institusi pendidikan dan civitasnya yang bobrok ?
Penulis: Moh. Rifqi Salim Agil
Editor: Dubil