LIMA HARI DI AMERIKA: PROGRAM PKU-MI UNTUK MENCETAK ULAMA GLOBAL

Andongonline | Gugun Gumilar, M.A., Ph.D., Wakil Direktur Voice of Istiqlal dan Pengajar di Universitas PTIQ Jakarta

Pertemuan dengan Presiden Hartford International University for Peace and Religion

Presiden Joel N. Lohr dan saya mengangggap bahwa program Pendidikan Kader Ulama Istiqlal (PKU-MI) sangat penting untuk mahasiswa Universitas PTIQ, tidak saja untuk memperkuat bidang keilmuan Islamic studies, religious studies, interreligious studies, peace studies, and conflict resolution, melainkan juga untuk memungkinkan terjadinya people to people contact sehingga terjadi mutual understanding atas keragaman agama (religious diversity). Hal ini selaras dengan misi Istiqlal, Universitas PTIQ, dan Hartford International University for Peace and Religion (HIU) dalam pengarusutamaan moderasi beragama.

Sebagai alumni Hartford International University for Peace and Religion (HIU), saya mendorong mahasiswa dan mahasiswi Universita PTIQ Jakarta belajar Islam dan studi agama dengan metodologi dan pendeketan terbaru mengenai diskursus studi agama-agama. Hal ini penting mahasiswa kita di Amerika bisa mempromosikan Istiqlal dan Indonesia mengenai kerjasama dalam hal pemberdayaan kaum moderat, mengatasi stereotypes yang negatif, mempromosikan kerukunan antar-peradaban, dan meningkatkan kerjasama di bidang pendidikan dan pemerintahan, sekaligus menjawab tantangan terhadap isu-isu global seperti religious extremism, interfaith dialogue, anti-Semitism, dan peace conflict resolution. HIU (dulu, Harford Seminary) dikenal di dunia, sebagai promoter dialog lintas agama ditawarkan untuk menjadi salah satu solusi yang efektif dalam mengatasi tantangan global, seperti mispersepsi, religious conflics, dan prejudice terhadap agama dan budaya tertentu, serta menghadapi tantangan terorisme, ekstrimisme, dan radikalisme.

Baca Juga :   Jelang Hari Raya Idul Fitri, GP Ansor Parungpanjang Berikan Bingkisan Lebaran Kepada Guru Ngaji

Saya melihat Istiqlal dan Universitas PTIQ sebagai role model pengiriman kader ulama Indonesia ke Amerika Serikat, untuk menjadikan ulama Indonesia menjadi global ulama. Saya juga meyakini komitmen Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar dalam melihat Indonesia dan Amerika sama-sama memiliki keberagaman komposisi penduduk dalam hal budaya dan agama. Keduanya pasti telah mengalami pergulatan yang tidak mudah di dalam mendamaikan keberagaman agama (religious diversity).
Singkatnya, Mahasiswa PTIQ dengan program PKU-MI yang terus bergelombang berangkat ke Amerika setiap tahunnya agar terus menyuarakan Pancasila sebagai jalan tengah bagi Barat dan Islam. Itu sebabnya mengapa Universitas PTIQ dan Istiqlal menjadi partner dialog dan pendidikan S2 dan S3 penting yang menghubungkan Barat dengan Islam.

Kunjungan ke Pentagon, State Department, Georgetown University, Voice of America, dan IMAAM Center di Washington D.C.

Imam Besar Masjid Istiqlal bertemu dengan tokoh-tokoh dunia di Washington D.C. Prof. Dr. KH. Nasarudin Umar terus mempromosikan Istiqlal dan PTIQ dalam dialog perdadaban. Semangat yang ia bawa di Washington D.C. dalam menghadapi krisis kemanusiaan akhir-akhir ini, komunitas agama-agama harus bersama-sama memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat untuk meringankan penderitaan, membangun solidaritas, dan menciptakaan keadilan, persamaan, dan kesetaraan. Saya dan Imam Besar meyakini bahwa ajaran agama harus ditafsirkan dan diterapkan dengan cara-cara yang sejuk, inklusif, dan moderat untuk melindungi martabat setiap individu, sehingga diperlukan advokasi untuk menjaga hak asasi manusia dan keadilan sosial di setiap elemen kehidupan manusia dan bernegara.

Baca Juga :   Ibu Zora Vidyanata dan PKB Memupuk Kebaikan di Santunan Anak Yatim: Apresiasi dari Bapak Idris, Caleg DPRD Kota Depok Dapil Cilodong - Tapos

Pertemuan dengan tokoh-tokoh dunia di Washington D.C. ini untuk menghindari sedikit mungkin terjadinya konflik sosial, ekonomi, bahkan politik, para pemimpin dan lembaga agama harus secara aktif terlibat dalam dialog antar-agama, pluralisme, dan antar-keyakinan. Kami sepakat dengan para tokoh Yahudi dan Nasrani di Washington D.C. menghindari sentimen agama, membina pemahaman, dan kerjasama yang utuh sebagai jembatan empati antar-sesama umat manusia.

Dalam berbagai pertemuan formal dan informal di.beberapa tempat di Washington D.C., kita menyadari hubungan yang tidak bisa dilepaskan antara agama, kemanusiaan, dan lingkungan, dibutuhkan komitmen untuk mempromosikan segala praktik berkelanjutan (sustainable practices) yang berkontribusi pada pengelolaan lingkungan hidup, persamaaan, dan kesejahteraan masyarakat.

Saya sebagai intelektual Muslim, komunitas agama-agama di Washington D.C. berkomitmen untuk melakukan pemberdayaan dan penguatan yang berkelanjutan bagi masyarakat tanpa memandang agama dan keyakinan guna menghindari berulangnya konflik dan ektrismisme.

Saya dan Prof. Dr. Nasarudin Umar berkomitmen untuk terus mendorong terbentuknya kepemimpinan moral yang dapat menumbuhkan kepercayaan dalam komunitas masing-masing dan masyarakat yang lebih luas baik di Amerika maupun di Indonesia.

Penulis:Gugun Gumilar

Editor: Dubil